Pages


Jumat, 12 Oktober 2012

JURNAL KEBIJAKAN OUTSOURCING

POSISI PEKERJA OUTSOURCING DALAM UNDANG-UNDANG NOMER 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Penulis: Dinar Wahyuni
Abstrak
Outsourcing menjadi sah pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Tulisan ini ingin menganalisis posisi pekerja outsourcing dalam Undang-Undang tersebut dari tiga dimensi, yaitu hubungan kerja, serikat pekerja serta konflik industrial dan penyelesaiannya. Dari dimensi hubungan kerja, status hubungan kerja pekerja outsourcing tidak jelas karena perjanjian kerja dibuat antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Telah terjadi inkonsistensi dalam penerapan hubungan kerja dan akan mengurangi hak-hak pekerja. Dari dimensi serikat pekerja, praktek  outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat dalam perusahaan. Dari dimensi konflik industrial dan penyelesaiannya, apabila terjadi konflik, maka pihak yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, karena hubungan hukum yang terjadi antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja.


MENAKAR KESEJAHTERAAN BURUH: MEMPERJUANGKAN KESEJAHTERAAN BURUH DIANTARA KEPENTINGAN NEGARA DAN KORPORASI

Penulis: Grendi Hendrastomo
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan antara kesejahteraan dengan peluh kerja buruh, melihat hubungan antara negara, pengusaha dan buruh, serta mengajukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Kesejahteraan buruh mutlak diperjuangkan untuk lebih memanusiakan buruh. Kebijakan yang diambil negara selayaknya tidak mengorbankan kaum buruh. Isu tentang perburuhan sampai saat ini merupakan salah satu isu sexi yang sering kali dijadikan alat tawar politik maupum objyek pencitraan. Buruh menjadi komoditas jualan parpol yang disatu sisi penopang dan menjasi tulang punggung perekonomian nasional tetapi distu sisi dipandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yang tak kunjung membaik. Desakan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan buruh selalu berjuang pada kegagalan. Outsourcing, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Upah Minimum Regional (UMR), upah yang tak kunjung dibayar hingga kemiskinan yang menghinggapi kaum buruh menjadi permasalahan akut yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Satu kesamaan diantara semua masalah, buruhlah yang harus menanggung semuanya. Peningkatan kesejahteraan menjadi dorongan buruh untuk terus berjuang.


Kebijakan Outsourcing dan Insourcing dengan Teori Critical Success Factor (Studi kasus di PT Telkom Indonesia Unit Consumer Service Regional IV)

Penulis: Saktiana Fardella Napondo
Abtrak
Fenomena  outsourcing di Indonesia sendiri memang sudah berlangsung cukup lama, baik dilakukan oleh perusahaan di dalam maupun di luar negeri baik perusahaan swasta maupun milik pemerintah. PT Telkom Indonesia Unit Consumer Service (UCS) Regional IV merupakan divisi perusahaan yang juga melakukan oursourcing, yaitu tenaga kerja, sistem informasi, dan sarana transportasi. Akan tetapi sumber daya outsourcing yang didapatkan seringkali tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa aktivitas yang dilakukan dan kapabilitas yang dimiliki  PT
Telkom Indonesia Unit Consumer Service (UCS) Regional IV untuk dilihat apakah sumber daya yang ada mampu mencukupi kebutuhan perusahaan untuk menyelesaikan aktivitas.

        Dari hasil analisa ini diajukan usulan kebijakan untuk outsourcing atau insourcing. Teori yang digunakan pada tugas sarjana ini adalah teori  Critical Success Factor (CSF), yaitu teori yang menyatakan bahwa dalam suatu perusahaan ada area aktivitas yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk mencapai kesuksesan.
Melalui studi lapangan dan studi literatur diperoleh aktivitas secara umum yang dilakukan pada PT Telkom Indonesia Unit Consumer Service (UCS) Regional IV. Dari aktivitas ini lebih lanjut diidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan dan indikatornya.

       Selanjutnya dinilai kepentingan aktivitas dan ketersediaan sumber daya pendukung. Penilaian dilakukan dengan kuisioner Delphi yang disebarkan sebanyak tiga putaran sehingga tercapai konsensus. Dari hasil pengolahan data menunjukkan bahwa hampir seluruh aktivitas termasuk aktivitas kritis dengan
sumber daya yang mencukupi untuk menunjang terlaksananya aktivitas.  Akan tetapi perusahaan tetap melakukan outsourcing dengan pertimbangan adanya aktivitas kritis yang tidak membutuhkan skill yang tinggi.
 

TEMA : OUTSOURCING
JUDUL: DAMPAK SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

Latar Belakang

Fenomena Outsourcing di Indonesia belakangan ini marak dan banyak diperbincangkan. Outsourcing memang sudah cukup lama di Indonesia, baik dilakukan oleh perusahaan di dalam maupun di luar negeri baik perusahaan swasta maupun milik pemerintah. Outsourcing menjadi sah pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Tulisan ini ingin menganalisis posisi pekerja outsourcing dalam Undang-Undang tersebut dari tiga dimensi, yaitu hubungan kerja, serikat pekerja serta konflik industrial dan penyelesaiannya. Dari dimensi hubungan kerja, status hubungan kerja pekerja outsourcing tidak jelas karena perjanjian kerja dibuat antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Dari dimensi serikat pekerja, praktek  outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat dalam perusahaan. Dari dimensi konflik industrial dan penyelesaiannya, apabila terjadi konflik, maka pihak yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, karena hubungan hukum yang terjadi antara pekerja outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa pekerja. Sistem Outsourcing, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Upah Minimum Regional (UMR), upah yang tak kunjung dibayar hingga kemiskinan yang menghinggapi kaum pekerja menjadi permasalahan akut yang terus menghinggapi para pekerja di Indonesia. Peningkatan kesejahteraan pun menjadi dorongan para pekerja untuk terus berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar